MEMASUNG ZILLA DENGAN BISMILLAH (kisah spiritual)

Penulis: Ika Kartika
Derap kakiku melangkah tergesa, menapaki teras koridor yang menyambungkan ruang kerjaku dengan ruang lab fisika. Letak ruangan yang berada di paling ujung, membuat perjalanan langkahku lumayan membutuhkan waktu agak lama.
Beberapa siswa dan siswi nampak terlihat ada yang berlarian menuju tempat lokasi yang sama dengan tujuanku. Sepertinya mereka tahu ada hal yang terjadi di ruang paling ujung itu. Sebagian diantara mereka yang setengah laripun sempat mendahuluiku, dengan menganggukkan kepala dan memberi sapaan yang hormat saat sejajar denganku, merekapun bergegas mendahuluiku seakan tak ingin keduluan olehku.
Hingar-bingar dan celotehan ramai mulai bisa kutangkap, tatkala ayunan langkah ini hampir menepi belokan paling ujung menuju ruang lab fisika. Bangunan belum sempat terlihat tapi kegaduhan mulai bisa kurasakan. Lolong teriakan mencolokpun terdengar jelas diantara kegaduhan, begitu jelas menandakan teriakan itu keras, tak selazimnya terjadi sekalipun disaat anak-anak bercanda mengungkapkan rasa merdeka dari kepenatan belajar.
Terayunnya langkah kakiku menuju ruang lab fisika, setelahnya Adit dengan tergesa gesa datang ke meja kerjaku dan memberitahu bahwa Zilla mengamuk. Aku langsung memahami apa yang terjadi dengan Zilla, atas laporan Adit teman satu kelasnya. Zilla sepertinya membutuhkan perhatian khusus, seingatku hampir setiap minggu Zilla selalu mengalami hal yang di luar nalar. Sekarang kejadiaanya menimpa, ketika pembelajaran berlangsung di lab fisika.
Saat menepi belokan teras koridor, aku melihat banyak siswa-siswi bergerombol. Ditiap kaca jendela mereka berburu pandang ingin melihat ke dalam ruangan. Begitu juga pintu masuk ruang Lab berjejal siswa-siswi ingin memiliki kesempatan dari apa yang terjadi di dalam ruangan. Suara teriakan-teriakan marah semakin bisa tertangkap jelas oleh daun telinga dari arah dalam. Sesekali teriakan-teriakan histeris dari Zilla, terdengar dijawab dengan celotehan-celotehan bercanda dari temannya yang ada di dalam. Responpun terkadang tak jelas dari mulut-mulut yang berkerumun, hanya menimbulkan kegaduhan yang semakin ramai di sekitar ruang lab.
Adit, yang sedari tadi menemani ayunan langkahku dan berada di belakangku, setelah hampir langkah ini menepi sudut ruang lab, nampak menyalip langkahku. Jeda beberapa langkah di depanku, Adit nampak mengurai kerumunan yang tak beraturan yang dilakukan teman-temannya.
Mengurai juga kerumunan, membuka jalan agar langkahku tak tersendat macet. Begitupun kerumunan di pintu masuk yang seperti daun pintu, menutup rapat jalan untuk masuk, terbuka lebar atas upaya Adit. Bagai seorang pengawal yang bertanggung jawab, adit bisa menepikan ayunan kakiku sampai berdiri menapak tepat dua meter jarak dengan Zilla.
Tampak dalam pandanganku, dua orang teman siswi Zilla, sedang memeluk kuat kaki Zilla, dua orang teman laki-laki begitu juga, dengan kekuatannya sedang memegang tangan kanan dan kiri Zilla. Sementara posisi Zilla terlentang di lantai dengan gerakan-gerakan yang seakan ingin melepaskan diri dari cengkraman teman-temannya. Bentakanpun terucap dari Zilla kepada teman-temannya penuh nada marah.
Pelan tapi pasti beberapa saat keberadaanku dekat zilla, bisa mengurai kegaduhan juga. Perlahan berkurang, sampai akhirnya keadaan sunyi. Zillapun tak bertutur bentak lagi, mengalihkan tatapan matanya ke arahku, seraya beringsut tubuh tak pernah berhenti, seperti ingin terlepas.
Ada sugesti yang kuat di lingkungan kerjaku, ada beberapa hal yang seringkali menimbulkan daya tarik semuanya menghinggap beberapa siswi seperti kasus Zilla hari ini. Sugestipun kuat juga, setiap hal seperti ini terjadi, pasti aku mendapat laporan, bukan sebatas laporan namun memastikannya aku bisa menyelesaikannya.
Wallahu bi murodihi...Terkadang aku hanya bisa berceloteh dalam hati, ketika hal seperti ini terjadi
"Hasbunallah wani'mal wakil. Ya Allah dia anakku sedang kau uji, ambil kembali ujian itu olehMu. Biarkan anakku bisa belajar dengan tenang"
Tak ada yang tahu celotehanku, kecuali diriku. Walaupun Zilla saat itu seperti bukan Zilla yang merasuki jiwanya, namun aku sendiri tak tahu dan tak bisa melihatnya, selain Zilla yang sedang mengumbar amarah, dan mendapat cekalan dari beberapa temannya dengan kegiatan yang maksimal. Aku juga tak menyalahkan setiap yang memegang Zilla dengan cekalan yang kuat, sebab jika Zilla terlepas maka sudah dipastikan akan terjadi sikap liar dari Zilla, bahkan mungkin bisa mencederai orang lain atau mungkin dirinya sendiri.
"Tolong anak-anakku lepaskan dia"
"Ngamuk, Pak"
Spontan dan reflek terdengar jawaban dari teman-teman Zilla, meyakinkanku dalam posisi tetap memegang beringsutnya tubuh Zilla. Zillapun posisinya semakin beringsut keras, seiring kuatnya pegangan teman-temannya. Bahkan sesekali kaki dan tangan terlepas, namun segera ditangkap lagi, dan peganganpun semakin kuat.
"Baiklah, sini tangannya luruskan. Kakinyapun luruskan. Kasihan dong Zilla akan merasakan sakit tubuhnya jika diperlakukan seperti ini".
Ujarku seraya mengatur posisi kaki dan tangan Zilla, agar sesuai yang kuminta.
"Bismillahirrohmanirrohim".
Selang beberapa saat aku coba, membuat posisi telapak tangan lurus sejajar pergelangan kiri Zilla, kemudian pindah ke pergelangan tangan kanan. Kemudian gerakan yang sama aku lakukan, mendekatkan telapak tanganku pada kedua lutut Zilla dan kedua mata kaki Zilla, jarak telapak tangan ini berkisar tiga sentimeter. Setelah itu aku berdiri, dan memerintahkan setiap yang memegang tubuh Zilla untuk melepaskannya. Spontan semua mengikuti petunjuk, kemudian merekapun berdiri di pijakan kaki masing-masing.
Sungguh Maha Besar Allah, Zilla yang beringas dilepas cekalan kuat tangan-tangan teman yang memegangnya. Bahkan tak ada sentuhan sedikitpun dari yang berkerumun di ruangan itu terhadap tubuh Zilla. Zilla tak mampu beringsut bangun, kedua tangan itu seperti menempel pada lantai, begitupun dengan kedua lutut dan kedua mata kaki menempel tak sedikitpun bisa beringsut dari lantai. Badan ada bergerak, tatapan mata tajam memerah memendam amarah, kata-kata meluncur keras menatap kearahku, namun tak memiliki daya untuk bisa bangun menyerangku.
Yang berkerumun seperti kaget, refleknya menjadikan kaki mereka mundur satu langkah, membuka ruang tempat Zilla terlentang jadi leluasa. Akupun tak terpengaruh, tetap ada dekat Zilla. Memandang memperhatikan tubuh Zilla yang tak berdaya, namun keyakinanku tubuh Zilla akan lebih nyaman tanpa pegangan kuat beberapa temannya.
Zilla seperti terpasung, terpasung.
"Terpasung dengan kekuatan Allah, terpasung atas kehendak Allah, Terpasung sementara demi kebaikannya. Hasbunallah wani'mal wakil"
Begitulah celotehan hatiku, seraya menatap Zilla penuh ketidakmengertian dari apa yang terjadi di hadapannya dan dilakukannya pada Zilla.
"Sungguh makna lafadz Basmallah, telah bisa diperlihatkan Alloh padaku"
Seraya jari telunjuk menempel di dahi zilla, dengan sedikit tekanan Zilla nampak tergoncang dan pingsan, kemudian jari telunjukpun mengarah bergantian ke kedua pergelangan tangan, kedua lutut dan kedua mata kaki. Reflek tanganku kembali diarahkan ke dahi Zilla, lalu diusapkan naik ke kepalanya beralas kerudung yang dipakainya. Mata Zilla terbuka, beberapa saat kemudian nampak tubuhnya beringsut bangun kemudian terduduk. Merasa malu ada aku dekatnya dikerumuni banyak teman-temannya.
"Istighfar, Zilla"
"Astagfirullahaladzim"
"Maha Besar Allah, yang kuasa menjadikan apapun itu terjadi. Hasbunalloh wani'mal wakill".
Lanjut celoteh hatiku, mengulang dan mengulang hal itu dalam tadabur langkah ini, atas sesuatu yang terjadi. Akupun bangkit, sambil memandang anak-anakku yang mulai terdengar gaduh. beberapa diantaranya nampak menatapku dalam pandangan tak percaya dari apa yang dilihatnya. Akupun tak peduli semua itu, sebab aku sendiri lebih tak percaya dibanding mereka. Biarlah ini misteri, hanya Allah yang tahu.