CURHATAN SUMIATI (kisah spiritual)

admin  | 23 Sep 2022  | 390 views  |

Penulis: Ika Kartika

 
Kalau tuan masuk ke wilayah kerjaku, tuan akan menepi lewat satu jalur, tepat didepan tengah berdiri gapura mengapit lebar jalan masuk sekitar empat meter. Antara tiang gapura satu dan yang satunya terbentang balok tembok, disana tuan akan melihat tulisan 'SMAN 1 CINTA' dengan huruf balok berukuran besar dan berwarna silver.

Sejajar gapura jika tuan berjalan lurus, teras pertama yang akan menjadi pijakan kaki tuan adalah koridor ruang perkantoran. Disinilah tuan akan bertemu ruang kepala sekolah, ruang TU dan ruang guru. Jika tuan memandang tembus dari koridor ke arah dalam, tuan akan bertemu dengan halaman terbuka yang luas, di sanalah aktivitas anak-anak berseragam putih abu saat melakukan upacara setiap hari senin, bahkan mungkin tuan akan menemukan anak-anak berseragam kaos saling kejar dan lempar bola basket dan bola sepak, penuh keceriaan.

Sekeliling area terbuka, tuan akan menemukan gedung-gedung dengan ukuran yang berbeda. Itulah bangunan ruang proses aktivitas keseharian anak-anak dibawah bimbingan guru. Bangunanpun memiliki nuansa yang berbeda, setiap atapnya dibuat penyangga genting ala minangkabau. Tiap bangunan terhubungkan teras koridor memanjang, sebagai titian manakala guru mau menunaikan tugas mengajar. Boleh jadi teras koridor itu ramai ditapaki seragam putih abu, pada saat jam-jam awal masuk, istirahat, dan  akhir jam kegiatan pembelajaran.

Di belakang gedung arah utara, masih berderet bangunan-bangunan yang menjadi pelengkap aktivitas persekolah. Disana ada ruang belajar, ruang perpustakaan, ruang lab, dan area kantin tempat yang paling ramai saat istirahat menjadi tujuan setiap yang berseragam putih abu. Terkadang waktu istirahat terasa kurang, melakukan aktivitas di kantin sambil duduk merefresh otak menikmati pemandangan alam terbuka dan air kolam sepanjang area kantin.

Ruangan kerjaku sendiri, berada tepat di teras koridor yang membentang panjang sejajar lapangan terbuka yang terluas, di sebelah utara. Gedung yang kutempati terhitung luas, karena didalamnya memiliki tiga ruangan. Ruang tempat meja kerjaku, ruang aktivitas pengurus OSIS dan ruang briefing. Sengaja pimpinan menempatkanku di sana, agar lebih bisa berinteraksi dan membina siswa. Tugas tambahan ini, mungkin menjadikan agak ada jarak antara aku dan kawan-kawan guru, tapi terasa dekat dan nyaman mendampingi dan membimbing aktivitas siswa-siswi, dalam rangka kegiatan ekstrakurikuler.

Terkadang aktivitas yang membutuhkan waktu jam sekolah, terkondisikan tanpa mengganggu aktivitas guru-guru. Tapi akan lain masalahnya, jika terjadi hal diluar nalar terjadi, dan itu dibawa penanganannya ke ruang OSIS, otomatis histeris teriakan akan mengundang kehadirannya di gedung tempat ruangku bekerja. Termasuk juga guru-guru, akan terlihat berdatangan di antara siswa-siswi. Gedungpun seperti menjadi sangat penting menjadi tempat bergerombolnya siapapun yang beraktivitas di sana.

Begitupun yang terjadi siang itu, gedung yang menjadi tempatku bekerja menjadi sangat menarik. Di ruang dalam berjejal, sepanjang kaca jendela dan daun pintupun menjadi tujuan bergerombol, menengokkan kepala ke arah dalam. Yang belum sempat melihat kejadian di dalam, merasa penasaran untuk berdesak-desakan minta kesempatan melihat.

Hampir setengah jam Zilla menatap sangar dalam cengkraman beberapa kawannya, yang berusaha mengontrol gerak tubuhnya untuk tidak berontak. Aku sendiri berada tepat di depan Zilla, sambil menekan pundaknya.

"Siapa kamu?".

Pertanyaan lirih mulai kusampaikan sambil menatap Zilla. Fokus tatapanku semakin konsen mengimbangi tatapan mata marah yang memerah dari Zilla.

"Sumiati"

"Kenapa kau datang lagi mengganggu anakku"

Mata Zilla nampak merah menyimpan marah dalam tatapanku.

"Kamu manusia baru bisa begitu, sudah sombong"

"Apa maksudmu, aku tidak mengerti dengan apa yang kau sampaikan".

"Kamu lihat, anakku patah tangannya, karena ulahmu"

Aku semakin bingung, kalimat-kalimat yang terucapkan Zilla, sungguh membuatku tidak bisa mengerti.

Tiba-tiba, Zarra yang berdiri paling dekat dengan Zilla menangis. Anehnya perilakunya seperti seorang anak kecil.

"Mamah...mamah...tanganku sakit"

Begitu ujaran yang keluar dari Zarra, disela isak tangisnya. Terlihat langkahnya pun menepi menghampiri Zilla. Reflek tanganku beralih, melepas pundak Zilla dan menangkap memegang pundak Zarra, seraya menarik sedikit menjauh dari Zilla. Kuberi kode Bu Hanif yang tak jauh dari posisiku untuk memegang Zarra. Setelah Zarra ada dalam pelukan Bu Hanif dalam raungan tangis dan berulang-ulang mengucap kata yang sama.

"Mamah tanganku sakit".

Sempat terdengar menyayat dalam pendengaranku, Zarra seorang ABG, berbicara seperti anak kecil dengan gayanya sambil terisak.

Pandanganku kembali ke Zilla, seiring pandangan Zilla yang beralih menatapku lagi, setelah sempat menengok ke arah Zarra untuk beberapa saat.

"Siapa dia"

Ujarku lirih, sambil fokus konsentrasi menatap Zilla.

"Dia anakku"

"Kenapa dengan anakmu"

"Tangan anakku patah, karena ulah bangsa kamu"

"Kenapa kamu salahkan bangsaku"

"Itu saat kamu membongkar kelas, anakku tertimpa kayu"

Aku baru bisa menangkap keseluruhan maksud dari apa yang disampaikan Zilla, walaupun sebenarnya aku tak bisa menerima menjadi penyebab tangan anaknya patah.

"Dengar sama kamu, Sumiati. Aku tak pernah tahu kau dan anakmu ada disini. Ini rumahku, semua yang ada disini bagian dari keluargaku. Kau jangan mengusiknya".

Ujarku seraya menatap dan menunjuk ke arah Zilla dengan nada suara agak tinggi. Keheningan suasana menyebabkan suaraku terdengar jelas diantara kerumunan orang.

Zilla tak merespon semua tuturanku, kecuali tatapan mata itu. Merah semakin membara menggambarkan amarah. Gigi beradu, berbunyi dalam luapan emosi. Tubuh bergetar mengantar beringa. Tapi semuanya tak bisa berdaya, karena terjepit tenaga kuat dari beberapa kawannya.

"Kau pergi saja, dan kau pastikan tidak ada dirumahku. Aku tak mau tahu kau...dan kau harus tahu ini rumahku"

Nada tinggiku seperti ingin meyakinkan tentang prinsipku padanya. Akupun menempelkan jari telunjuk di keningnya, seraya memohon pertolongan kepadaNya.

"Panas...panas..."

Zilla histeris dengan goncangan tubuhnya, meyakinkan yang sedang memegangnya untuk mengeluarkan tenaga ekstra kuat.

Beberapa saat kemudian, tubuh Zilla berangsur melemah, sampai akhirnya pada titik telunjuk jariku menekan kuat keningnya, Zilla terkulai lemas. Seiring itu, kegaduhan mulai terdengar. Masing-masing berkomentar berdasarkan keinginan dan pemikirannya. Akupun tak peduli dengan kegaduhan yang terdengar, telapak tangan kusentuhkan ke kening atas Zilla, menyusur ke kepala dalam alas kerudungnya, Zilla pun tersadar.

"Istighfar, Zilla"

"Astagfirullahaladzim"

Kemudian aku menengok Zarra yang sedang dalam pelukan Bu Hanif, kesentuh keningnya dengan jari telunjuk, kutekan sedikit. Nampak agak terguncang tubuh Zarra, namun aman dalam kontrol pelukan Bu Hanif. Wajahnya nampak menengok kanan kiri, seakan tak tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Hasbunalloh wani'mal wakill, manusia tak berdaya kecuali izinNya. Begitupun makhluk selain manusia yakin ada, hidup bersama atas izinNya juga. Namun satu hal yang harus diingat, kita manusia adalah makhluk yang paling mulia.

"Alhamdulillaahirabbil'aalamiin"

Celotehan lirihku, seraya meninggalkan Zilla dan Zarra yang sedang diberi minum oleh Bu Hanif, diantara elus empati teman-temannya.

Tulisan Terkait