MISTERI DUKUH GORONO (kisah spiritual)

Penulis: Ika Kartika, S.Pd
Kabut menyelimuti badan bukit jahim. Area hutan alami yang ditumbuhi pohon-pohon pinus subur diantara semak belukar yang rimbun tak terusik tangan manusia. Pagi hari akan terasa dingin berada pada pelukan kabut, menjelang siang bahkan sampai sinar matahari memancung ubun-ubun sekalipun, kita akan merasakan segarnya alam. Senja hari kalaupun cerah, mulai menyapa rasa was-was, apalagi menjelang datang gelap. Alam berubah seram, membawa ilustrasi mistis itu semakin kuat.
Jika kita masuk area bukit Jahim dari timur dan utara, akan kita temui jalan curam menanjak, walaupun kondisi jalan bagus, kelokan dan ruas jalan yang kecil seringkali memerlukan kewaspadaan tingkat tinggi saat melaluinya. Selain itu ada kisah-kisah kejadian mistik yang sulit tidak dipercaya diarea bukit ini.
Dari badan jalan utama kita akan melihat beberapa rumah menempati rerimbunan bukit, itu adalah Dukuh Gorono, yang berada di lereng selatan bukit Jahim, untuk mencapainya kita bertelusur bukit Jahim, sebelum mendekati puncak, jalanan berbelok ke kanan. Mulai pertigaan itu ruas jalan semakin sempit, walau sudah beraspal. Kelokan menurun semakin curam sebab dilihat dari wilayah geografisnya Dukuh Gorono berada di lereng lembah bukit Jahim. Penduduknya dihuni oleh beberapa keluarga saja. Mata pencahariannya pada umumnya bertani dan mencari penghidupan sekitar area bukit. Ada beberapa putra dukuh, merantau mencari penghasilan ke kota.
Secangkir kopi, cukup membuat segar tubuhku, walau semalaman mata ini tak berkejap sebentarpun. Mengurai perjalanan membayang peristiwa tadi malam, menepi menemani secangkir kopi. Tatapanku jauh memandang aktivitas berseragam pramuka diantara tenda-tenda yang berdiri berkeliling rapi, sejak hari kemarin. Ini memang event yang sudah menjadi program tahunan sekolah, pelantikan tamu ekstrakurikuler membuatku berada di sekitar bukit Jahim, tepatnya di Dukuh Gorono.
Usai sholat isya, tadi malam. Aku dihadapkan dengan hal yang tak bisa dikontrol dengan akal pikiran. Diantara 350 anak bangsa yang tersebar kurang lebih dalam 35 sampai 40 tenda, Zilla memperlihatkan karakter yang tak bisa dikontrol. Tatapan matanya lurus seperti kosong, kedipan mata ada hanya saat-saat tertentu. Kelihatan beringas memandang siapapun, membuat rasa takut teman-temannya.
Kebodohanku akan hal-hal begitu membuat aku berpikir keras, disatu sisi aku tak tahu, disisi lain aku merasa ada yang sedang terganggu psikologis dari anakku ini. Memapah, memperhatikan secara khusus serta menyerahkan semuanya kepada sang Khalik adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.
"Hasbunalloh wani'mal wakill".
Ketaklaziman aku menghadapi peristiwa kali ini, aku tak sempat bisa mencoba komunikasi dengan Zilla, Dia sepertinya tak berkenan merespon harapanku, sebagai gurunya.
Wajah dan tatapan mata Zilla tajam menyimpan amarah kebencian. Beberapa kali tubuhnya yang gempal, berdiri berjalan bagaikan robot. Zilla tak peduli tapaknya terayun dijalanan yg berbahaya bahkan terkadang menapak lebat dan rimbunnya semak belukar menjadi pijakan kakinya. Lebih ngeri lagi ketika ilalang yang rimbun semak belukar berujung jurang yang curam.
Beberapa teman Zilla yang sudah ku kondisikan semenjak perubahan terjadi, senantiasa patuh memperhatikan kode-kode yang kusampaikan, untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan. Terkadang memegang kuat tangan dan tubuh Zilla kuat-kuat, saat perilakunya tak terkendali.
Malam yang tragis bagiku, walau aktivitas disekitar lapangan depan berjejernya tenda-tenda ramai dengan aktivitas kegiatan peserta kemah, pojokan tempatku mengendalikan Zilla terasa sunyi mencekam.
Udara dingin berbaur aura yang sedikit tak bersahabat tak ayal menumbuhkan rasa bulu kuduk berdiri, apalagi ketika sesaat-sesaat Zilla terasuki. Aura alam semakin mencekam, hingar bingar aktivitas pramuka nan jauh disana, tak menjadi pengupah hilangnya aura ganjil itu.
Arloji yang dipakai dipergelangan tangan, saat itu sempat terlirik jarum menunjukan angka 03.43 wib, dini hari menjelang sirna, suasana tenda-tenda nampak sunyi. Semua peserta kemah merasa lelah hingga tak kuasa untuk tidak melepasnya dalam dengkuran. Zilla masih mengalami keganjilan yang terus menerus. Datang pergi, seolah tak peduli demi tujuan tercapai. Siapakah yang memiliki tujuan ini ?
Akupun coba bertahan, menjaga normalitas psikologi Zilla, sebagai wujud tanggung jawab atas keselamatannya. Bukan hanya Zilla, tapi juga seluruh yang terlibat kegiatan.
Terdengar lapat-lapat tahrim terdengar dari mushola yang terletak di ujung Dukuh Gorono. Selang beberapa saat kemudian alunan adzanpun menyusulnya, seiring terlihat Zilla keluar dari tenda.
"Izin ke air, Pak"
Seuntai kalimat yang terucapkan berbarengan dengan lapat-lapat suara adzan subuh. Sebuah ujaran yang tak sempat terucap Zilla, semenjak psikologisnya berubah. Aku merasa kurang yakin dengan apa yang kudengar, termasuk anak-anak laki-laki dari panitia kegiatan yang ku khususkan menemaniku sejak Zilla mengalami gangguan. Mereka reflek berdiri menghalangi arah langkah jalan Zilla.
"Kamu siapa?", ujarku menatap Zilla, untuk lebih meyakinkan kondisinya.
"Zilla, Pak"
"Alhamdulillahirobbil aalamiin..."
Sepenggal ujaran, terucap penuh rasa bahagia. Seraya menatap Zilla, yang nampak rikuh...seakan tak paham dengan apa yang terjadi dan menimpanya. Senyum malu, tatapan mata layu karena tak sempat tertidur memancarkan keyakinanku, ini anakku Zilla.
"Tolong temani"
Ujarku mengalihkan pandangan berkeliling tatapan mata memandang anak-anak panitia. Merekapun tampak terlihat menarik napas panjang, seraya mengurai posisi berdiri, agar Zilla bisa lewat. Ada juga diantaranya yang berjalan duluan menuju tujuan Zilla.
Sungguh suatu pemandangan yang mengharukan sempat terlihat, fenomena hati yang simpati dan empati diantara anak-anakku sudah mampu menguatkan tekad dan menghilangkan aura tak sedap sekitar area perkemahan.
Itu peristiwa memutar memori ini, padahal saat sekarang aku sejenak melepas lelah, menyambut sinar pagi di area kemah, menyendiri memandang aktivitas senam pagi seluruh peserta perkemahan, ditemani secangkir kopi.
"Pak, maaf mengganggu".
Terdengar sapaan lirih dari arah samping. Akupun menengok kearah sumber suara. Nampak dipandanganku seorang sepuh bersorban dan mengenakan sarung dan peci, tepat berada dibelakang Pak Udin, seorang yang kukenal sebagai kepala Dukuh Gorono.
"O...Pak Kadus. Tidak...tidak mengganggu. Ayo, mari duduk".
Jawabku setelah tahu siapa yang menyapa, seraya berdiri menyalami kedua tamuku dan mempersilahkan duduk dibangku apa adanya.
Sebuah rakitan panitia perkemahan yang terkesan, asal jadi tempat duduk. Terbuat dari tiga batang bambu, dengan penyangga dari tiap ujungnya.
Kedua tamu yang merupakan sesepuh dukuhpun duduk. Kemudian aku meminta bagian yang bertugas dapur umum, untuk menyeduhkan kopi.
Layar memori yang sempat melintas pikiranpun, terjeda...bahkan sepertinya berhenti total. Fokus pikiran ini beralih kepada tamu yang menemuiku, pikirku mengatakan pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan.
"Pak Robby, ini Pak ustadz ada perlu sama bapak"
Akupun tersenyum setelah mendengar Pak kepala dukuh bertutur, ke arah Pak ustadz seraya manggut memberi hormat pada sesepuh Dukuh Gorono.
"Begini Pak, adakah semalam kejadian yang dialami anak-anak di kemah ini?"
Sebuah penuturan pertanyaan yang membuat aku kaget. Baru saja memoriku memutar peristiwa aneh semalaman, sebelum kedua tokoh ini datang. Kini tambah aneh lagi, dengan pertanyaan Pak ustadz, yang sepertinya tahu ada peristiwa tadi malam. Padahal seingatku peristiwa tadi malam kedua tokoh dukuh ini tidak ada di area kemah. Bahkan setahuku tidak semua yang ikut kemah juga tahu, selain pembina.
"Maaf Pak ustadz, kalau boleh saya bertanya. Tahu dari mana Pak ustadz perihal ada peristiwa tadi malam"
"Begini Pak Robby, semalam saya bermimpi. Ada dua makhluk yang menyatroni ini tempat kegiatan kemah. Saya tak tahu persis peristiwanya seperti apa. Hanya dari kedua makhluk itu, satu merasa kalah...tapi yang satunya merasa belum kalah dan berkata malam berikutnya mau menyatroninya lagi".
Ujaran sepuh dukuh terdengar begitu serius, akupun tak bisa menyepelekan terhadap apa yang diucapkannya. Mimpi boleh jadi bunga tidur, tapi mimpi itu datang pada seorang sesepuh dukuh, sepertinya sebuah mimpi yang harus dipertimbangkan.
Aku terhenyak sesaat, berpikir dari apa yang kudengar. Sampai akhirnya kedua tokoh dukuh itu pamitan pulang menyadarkan pikiranku yang sedang diliputi nalar-nalar tak menentu, berkecamuk menjadi diam seribu bahasa.
"Saya pamit Pak Robby. Semoga mimpi saya hanya bunga tidur saja"
Akupun berdiri, seiring kedua tokoh dusun berdiri. Kemudian menyalami keduanya seraya tersenyum manggut memberi penghormatan terhadap sesepuh dukuh.
Akupun kembali duduk, memandang jauh ke tempat peserta kemah bersenam pagi. Pikiranku mulai dihinggapi satu perhitungan yang khawatir. Ratusan anak akan menjadi resiko dari apa yang menjadi mimpinya tokoh dukuh barusan. Sepertinya kurang bijak jika aku tak mengambil langkah antisipasi, walaupun secara naluri keyakinan ini...Allah ada bersamaku.
"Jika tak ada mereka, aku tak perlu mengambil sikap bijak. Sebab konsekuensi apapun aku yang akan menanggungnya. Tapi ini ada mereka ratusan, boleh jadi tak tahu apa-apa dan tak tahu harus berbuat apa"
Perang sabil diantara celotehan hati ini, sulit juga dijadikan satu keputusan menghadapi menjelang nanti malam.
"Ya Allah...Ya Rabbul Izzati, hanya Engkau Penguasa Alam, hanya padaMu aku mohon petunjuk"
Bisik hatiku diantara dilematisnya mengambil kesimpulan.
"Hasbunalloh wani'mal wakill"
(Akhirnya malam kedua perkemahan di Dukuh Gorono, semua kegiatan dibatalkan. Semua anak dititipkan di rumah warga).
☕☕☕