PERADILAN (cerita motivasi)

Oleh: Ika Kartika
Seorang muda berjalan begitu ceria diusianya. Wajahnya tampak segar, senyumnya kalau terlihat mengundang lesung pipi seperti circle mata angin, menambah pesona setiap yang melihat. Perawakannya cukup tegap, dengan menggunakan pakaian yang sopan. Memperlihatkan bahwa dirinya seorang yang berpendidikan. Langkah terhenti di depan pintu rumah, yang sebentar kemudian daun pintunya terbuka.
Ayunan kaki melangkah, setelah sebelumnya membuka sepatu yang menjadi alas kakinya. Tubuh tegapnya nampak menutupi badan kecil yang nampak rambutnya sudah berubah menjadi putih, yang tadi sempat membukakan pintu. Tak ada kecanggungan diantara keduanya. Berjalan beriringan menuju ruang paviliun belakang. Si pemuda pun duduk, ketika yang punya rumah mempersilahkan, posisi dudukpun bersebrangan dibatasi meja sofa, yang diatasnya tergeletak beberapa buku, dan dua cangkir kopi yang masih terlihat mengepulkan asap. Sepertinya pribumi sudah menyiapkannya, sebelum sang tamu datang.
Ada rasa segan sang pemuda terhadap pribumi, terlihat dari anggukan kepala dan senyuman serta tatapan yang diperlihatkan sebelum duduk di kursi, berlanjut keseganan itu nampak setelah duduk. Matanya memandang takjub seorang tua yang hampir semua rambutnya sudah memutih, keakrabannya karena putrinya, Pita sahabat dekatku dibangku kuliah. Walau bagaimanapun seseorang yang ada di hadapannya juga memperlihatkan sosok pribadi yang 'welcome', walau sekarang rekan kerja satu profesi, beda jenjang. Dulu beliau juga adalah guru bagiku ketika mengenyam pendidikan dibangku Sekolah Dasar.
Dia tetap seorang guru bagi diriku, walaupun sekarang kapasitas diriku juga adalah seorang guru di sebuah SLTA. Perbedaan level jenjang pekerjaan bukan suatu hal yang membuatku harus merasa lebih dari beliau. Tak jarang silaturahmi dijalin, walau jenjang pekerjaan tingkatan diantara kami berbeda. Tapi profesi itu sama, ada anak bangsa di lingkungan kami. Bahkan terkadang diriku merasa menemukan banyak hal dalam setiap perbincangan. Kestabilan psikologis dalam kapasitas usia menggeluti profesi guru, membuatku kalah jauh dalam merasakan kestabilan menapaki pekerjaan. Beliau yang sekarang duduk ada disebrang meja, benar-benar menjadikan inspirasi dalam kapasitasnya, bagi diriku yang mengayun langkah dalam tapak yang sama.
"Lama tidak berkunjung. Apa kabarmu, anak muda?".
Begitulah gaya yang sempat terkesan, selalu membuatku merasa ada kehangatan, manakala aku bertemu atau berkunjung menemuinya, seperti hari ini. Usia yang setengah abad lebih, tak membuat tuturan kata itu jadul, bahkan terkadang tuturan itu bisa menjebak baper tanpa mengenal usia.
"Baik, alhamdulillah. Bapak sendiri bagaimana kabarnya?"
"Ya, beginilah. Seperti yang kau lihat. Aku tak memiliki apa-apa kecuali gubuk tempatku berteduh, dan satu dua buah buku sebagai teman manakala aku kesepian. Tapi inilah sebuah realita, yang harus ku manfaatkan. Agar hidup ini punya arti dan makna. Dan beruntung kau datang sekarang, sehingga aku tak perlu baca buku, atau menulis cerita menjadikan hidup ini benar-benar. Cukup ngobrol denganmu, mengusir rasa sunyi".
Akupun tersenyum memandangnya, dia begitu santai bertutur sambil tersenyum. Sebatang kara hidupnya tak surutkan keceriaan dan semangatnya. Apalagi dalam kapasitas guru, aku yakin beliau banyak menemukan pengupah lara, dengan kehadiran murid-muridnya yang tiap tahun silih berganti. Sempat sekian tahun kebelakang, beberapa hari kondisinya terpukul. Saat itu Bu Lastri, istrinya, dan anak gadis semata wayangnya yang merupakan sahabatku, Pita, mengalami kecelakaan lalu lintas, sampai berujung meninggal dunia. Itu peristiwa lima tahun yang lalu, membuat peradilan hidup beliau menakdirkan kedua orang tersayangnya berpulang lebih awal.
Hari-hari setelah peristiwa itu, sempat dalam tatapanku ada yang hilang dalam pribadinya. Sosok ceria itu sirna. Bergayut rasa duka dalam wajahnya. Aku menganggap itu sebuah hal yang wajar dan alami. Namun tak menjadikan larut berlama-lama. Itu terasa dan terjadi sepekan setelah musibah. Setelah itu aku merasakan kembali sosok pribadi yang hangat dan ceria itu terasa lagi.
"Bagaimana pekerjaanmu, Firman. Tentunya kau semakin mantap menunaikan tugas sebagai guru, apalagi Bapak dengar kau memiliki pimpinan baru".
"Alhamdulillah, Bapak, segala pekerjaanku bisa ku tunaikan secara lancar. Walau terkadang ada beberapa hal yang masih belum bisa kupahami dan kutunaikan dengan optimal. Terkadang ada hal yang mengganjal, tapi ya...dengan sendirinya harus kuikuti. Walau bagaimanapun saya adalah seorang guru muda, yang masih tersekat dengan berbagai pertimbangan dan kekurangan"
"Wajarlah, dan bagus kau bisa merasakan dan sekaligus mengontrolnya. Itulah kehidupan, terkadang pikiran banyak orang sulit untuk dijadikan satu. Tak perlu jadi pemikiran yang dalam, cukuplah kau tersenyum dengan warna yang berbeda itu, sebab selama kehidupan ini masih merupakan jadi ayunan langkah kita, mesti perbedaan itu ada. Justru keberhasilan akan diperoleh dari banyak perbedaan yang terjadi".
"Insyaallah, Bapak. Walau terkadang menghukum dan menghakimi sesuatu yang berbeda pandangan itu mudah. Tapi sepertinya sebagai guru muda, tetap akan dihadapkan dengan realita yang sulit. Banyak faktor yang membuat nyali ini tak sekuat argumentasi yang sudah disiapkan. Lebih jauhnya, tentu hal-hal yang mungkin jadi bahan pertimbangan lain, kepercayaan atas konsepan seorang muda tak akan mudah bisa memberi warna. Sebab walau bagaimanapun konsepan itu belum bisa terlihat dalam implementasinya".
"Ya, kira-kira seperti itu. Namun walau tak mungkin konsepan itu dipakai, alangkah kurang tepat juga manakala didiamkan, sebatas mengisi ruang pikir kita. Hanya akhirnya apapun yang diputuskan, lebih penting bagi kita untuk bisa legowo. Dan ayo bersama keputusan itu semua berjalan seiring selangkah".
Akupun hanya mengangguk-anggukan kepala, walau sebenarnya tak semudah apa yang beliau sampaikan dalam kenyataannya. Untuk beliau sendiri pasti itu merupakan hal biasa, tapi bagiku yang boleh jadi menapak kerja baru semusim jagung, jika biasa melakukan hal itu, sungguh merupakan hal yang sangat-sangat luar biasa.
Beberapa hal yang sempat kurasakan, dalam posisi guru muda. Tak akan siap secara mental dan psikologis, jika mencoba memberikan pengaruh dalam pengambilan sebuah keputusan. Dan ini pun seperti menjadi kesepakatan secara tidak langsung, manakala mencoba dalam sisi-sisi bercanda dengan yang seusia. Bahkan terkadang hanya berujung derai tawa, jika teringat sesuatu yang menjadi efek dari semua itu.
"Aku sempat ingat cerita Pita, almarhum. Ketika sebelum musibah itu dia pernah menceritakan, ada kalanya sebanyak orang muda berkumpul dan bersuara. Tetap tak akan jadi kekuatan ketika seorang senior sudah berbicara. Hal ini, karena terkadang ada hal-hal lain yang terjadi di luar formalitas pengambilan keputusan".
"Saya pun merasakan seperti itu, Bapak. Persis apa yang disampaikan almarhum itu dirasakan dalam perjalanan saya".
"Inilah yang dinamakan manuver politik, Firman. Jangan sekali-kali kau ikuti gaya itu. Sebab yang namanya politik itu tidak sehat. Sementara dalam menjalankan sebuah lembaga pendidikan, apapun itu harus terkontrol secara sehat dengan intelektualitas dan kualitas seorang pendidik, bukan seorang politikus. Ingat jika manuver politik terjadi di lingkungan pendidikan, maka dipastikan suatu hari nanti manuver itu akan mencederainya".
"Maksudnya mencederainya itu, bagaimana, Bapak...saya kurang paham".
"Apa yang menjadi rumusan keputusan, sesuatu yang tak berkesinambungan. Bahkan kecenderungan bersifat sesaat. Sementara yang mana yang program sebuah institusi harus berjalan berkesinambungan, jika itu bukan merupakan 'pilot project'. Bahkan untuk sebuah pilot project pun kalau bisa berlanjut, selama acuan kurikulum belum berubah. Tentunya dengan evaluasi, berlanjutnya menjadikan lebih berkualitas dan bahkan bisa menjadi brand, yang dikenal khalayak. Pemodelan ini barangkali akan meningkatkan kualitas sebuah sekolah, seiring output yang berkualitas maka input pun akan datang dengan berkualitas juga"
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari mushola, menyadarkan obrolan asyik dua generasi. Walau sebenarnya diantara keduanya tak pernah tahu tentang apa yang diobrolkannya, sebuah konsepan dimana Pak Ramlan kerja itu semua tak ada. Sebuah lembaga yang dihuni oleh seragam putih merah tentunya terlalu jauh untuk semua itu. Begitu juga untuk ditempat Firman bekerja, yang sebenarnya konsepan itu akan jadi sebuah tantangan institusi. Apa yang menjadi obrolan sebatas apa yang dirasakannya, boleh jadi merupakan angan. Belum tentu sebuah data realita yang terjadi. Semua hanya berada pada sisi obrolan karena sama-sama ada dalam ranah pengabdian terhadap anak bangsa. Semua sebatas obrolan dalam bermimpi dalam profesi.
Firmanpun pamit, seiring waktu yang sudah siang, dan meninggalkan secangkir kopi yang tak berasap lagi, bahkan nampak tinggal cangkirnya saja. Keduanya tersenyum dalam tatap hangat dua generasi satu profesi. Anak bangsa menjadi langkah rutinitas dalam membawa senyum bahkan mungkin gelak tawa itu ada.