CHARACTER ASSASSINATION (cerita motivasi)

admin  | 07 Okt 2022  | 413 views  |

Penulis: R2FK

Ayunan langkah ini sudah terlalu jauh dan panjang. Sejak lepas shalat isya, dan sekarang bertemu fajar menguning dari arah timur. Kaki ini masih harus terayun bertelusur tebing yang menaik, diantara cadas licin yang tak  ditumbuhi lebat dan suburnya pepohonan. Kalaupun ada satu dua pohon ditemukan, tanpa kerindangan dan berukuran pendek. Itupun sejenis tanaman yang tumbuh dalam kondisi suhu panas.

Ini jalan yang menjadi tapak untuk bisa mencapai kawah gunung Ciremai. Berupa parit kecil, yang merupakan bekas mengalirnya belerang kawah, dulu ratusan tahun yang lalu ketika gunung ini meletus. Boleh jadi untuk saat mendatang tatkala hal itu berulang...wallahualam.

Semalaman yang gelap telah membuat mata ini tak bertatap tingginya gunung. Padahal aku dan beberapa temanku yang tergabung dalam ekstrakurikuler Sucipala, sedang mencoba menjajal gunung tertinggi nomor satu di Jawa Barat. Tak bisa dipungkiri kaki letih, telah menjadi bukti bahwa terjal dan curam tebing dan lembah sudah terjejaki perjalanan semalaman. Otot-otot kaku pun menjalar dari mulai telapak sampai pangkal paha, seakan bercerita dahsyatnya perjalanan malam yang telah kutempuh, sejak lepas isya. Berawal dari sebuah dusun yang terletak di kaki gunung Ciremai, sekitar daerah Apuy Argalingga.

Fajar pagi tak bisa menjadi pengupah kekakuan otot-otot kaki, walau sebenarnya jarak pandang mata mencapai tujuan puncak sudah terlihat dekat. Bahkan beberapa temanku sepertinya sudah mulai menepi puncak gunung. Akupun terduduk pasrah, sementara aku berjalan hanya sendiri, terlepas dari kawan-kawanku yang sepertinya terlalu rindu ingin segera menepi, berjalan cepat tak peduli lagi kawan serombongan. Sementara langkahku sudah mulai tersendat, akhirnya tertinggal jauh. Dalam ketidakmampuan berjalan aku terbungkam sakit, hanya tarikan nafas kucoba mengaturnya, mengurangi sakitnya otot kaki. Sesekali menutup mata, tanpa ada yang bisa kumintai pertolongan. Hampir lima belas menit aku menyandarkan tubuh di tebing parit yang menjadi keletihan dan rasa sakitku memaksa berhenti. Dalam upaya mencoba bertahan, berharap masih ada teman dibelakang, aku merasa tersiksa.

Selang beberapa saat, ketika mata ini sedang dipejamkan, sekedar mengurangi rasa sakit. Aku dikagetkan dengan sapaan dan sentuhan di sikut tangan kananku.

"Lina, kenapa?"

Mataku terbuka, kulihat sosok pembinaku berdiri tak jauh dari tempatku menyandarkan tubuh. Nampak tangannya berusaha menarik kedua sikut tanganku, membantu agar aku mendapatkan posisi yang nyaman. Berhasil juga usahanya, badanku duduk lurus dengan posisi kaki selonjoran. Diapun kelihatan mencoba mundur, memberi kesempatan kakiku leluasa dalam selonjorannya.

"Gak kuat Pak, kaki terasa kaku dan kejang"

"Ok...tenangkan, rilekskan, nafasnya atur sesantai mungkin"

Ujarnya seraya berjongkok, mencoba membantuku dengan menggoyang-goyangkan sepatu gunung yang menjadi alas kakiku, mungkin agar telapak kakiku jadi lemas. Sementara tanganku, terus memijit-mijit bagian atas lutut dan betis, hingga bagian belakangnya. 

Beberapa saat itu terjadi, kemudian Pembinaku berdiri. Sementara Aku masih terus mengurut-ngurut kakiku. Diapun nampak memberi kesempatan kepadaku untuk rileks. Nampak tangannya mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulutnya. Kemudian dia duduk disenderan parit. Kepulan asap rokok pun mulai terlihat dari mulut dan hidungnya. Aku tahu, bahwa pembinaku yang satu ini memang tak lepas dari hal seperti itu. Bahkan terkadang ketika coba sedang latihan di kampus pun, jika ada kawan pembina yang nyindir kebiasaannya itu, dia hanya melirik tersenyum. Terkadang keluar juga argumen bercandanya yang membuat semua anak binaannya tertawa.

"Coba lututnya ditekuk"

"Siap, Pak"

Akupun mencoba melakukan apa yang diperintahkannya. Menekuk lutut dan menggoyang-goyangkan. Terasa nyaman kaki ini, sementara aku mulai ingin mencoba bangun berdiri, namun sepertinya itu belum bisa aku lakukan. Aku kembali terduduk berselonjor.

"Ayo, Bapak bantu"

Uluran tangan itu terlihat, setelah sebelumnya kelihatan rokok yang ada dalam jepitan jari tangannya dibuang tepat depan kakinya yang terbungkus sepatu, dan menginjak-injaknya. Akupun mencoba menggapai uluran tangannya, rasa sakit terasa, namun aku bisa berdiri. Beberapa saat aku dipandu untuk merilekskan tubuh, dalam posisi masih berpegangan padanya. Sulit hilang dengan cepat rasa sakit kakiku, namun aku harus segera bisa menepi puncak agar bisa leluasa istirahat.

"Pak, dipaksain saja jalan"

"Masih terasa sakitnya, Lin?".

"Masih, Pak"

"Kuat jika kita lanjutkan perjalanannya?".

"Insya Allah"

Tak ada jawaban jujur sebenarnya, namun jika tak segera mencapai puncak, aku khawatir tak bisa istirahat untuk mengobati rasa sakit kaki ini. Sementara pulang membayang panjang jalan yang harus jadi tumpuan kaki ini. Dengan sesekali tangan dipapah bapak pembina, akhirnya aku sampai juga di puncak Ciremai. Walau terbalut rasa sakit kaki, namun kawan-kawan yang tergabung dalam Sucipala begitu membuat rasa sakit terobati. Membantu memapah aku, sampai memberikan pijatan-pijatan sekedar mengendorkan otot-ototku, dalam terlentang tubuhku di pinggir kawah gunung yang kuimpikan bisa didaki.

Tiba saatnya pulang, sungguh merupakan hal yang tak kuharapkan. Tapi ketika tak pulang pun bukan juga harapanku. Sebagai anak manja, tentunya aku merasakan sesuatu yang dilematis. Tak bisa kutahankan juga, mataku sembab dibawa bingung. Walau kucoba untuk tak terlihat banyak teman-temanku segala emosi ini, tak bisa juga. Hal ini menjadi bahan olokan Fitri, teman dekatku.

"Pak, gimana dengan Lina. Apa kita tinggalkan saja?"

Ujaran keras terdengar dari teman dekatku yang sedang mencoba memapah mengikuti kawan-kawan yang sudah mulai berjalan bertelusur titian pulang. Aku hanya sempat melihat sebuah senyuman dari bapak pembina yang tak lepas dari kepulan asap rokoknya. Saat aku telah melewatinya, dia pun kelihatan berdiri dan berjalan. Persis dibelakangku yang dipapah Fitri, yang merupakan anggota Sucipala paling akhir berjalan.

Kondisi jalan yang menurun posisi kakiku sedikit sulit dipapah sahabatku, sebab sahabatku pun bukan seorang wonder woman, tenaga sudah terkuras saat berjalan mendaki semalaman. Terjatuhpun merupakan kondisi yang sering terjadi, akhirnya Fitri menyerah memapahku. Sementara pembinaku hanya sebatas membantu bangun saat terjatuh, dalam senyuman yang tak kuketahui. Namun, tentunya aku tak berpikiran dia membiarkanku. Tapi jujur aku merasa sedikit sebal, sepertinya dia tak mau tahu apa yang kurasakan.

Aku jadi teringat, kata-kata seniorku. Bagaimana gambaran sosok pembina Sucipala, orangnya galak...dan banyak lagi cerita-cerita lain. Dan sekarang aku merasakannya, walau dia ada dalam posisi mengawalku di belakang. Sepertinya apatis dengan apa yang terjadi. 

"Pak, aku takluk nih...mapah Lina"

"Baik, kita berhenti sebentar"

Aku dan Fitri seperti mendapat kesempatan untuk melepas segala rasa sakit. Duduk berselonjor mengurut-ngurut betis sampai lutut, hingga meremas telapak kaki yang sejak dari puncak beralas sandal jepit.
Pembinaku pun asyik kembali dengan isapan-isapan rokok kreteknya, sesekali meneguk air kopi kesukaannya yang disiapkan sejak dari puncak. Begitupun aku dan Fitri membuka cemilan makanan ringan dan air Aqua.

Ciremai terasa menggoda terlihat dari kampus tempatku menimba ilmu. Tapi faktanya bertelusur menuju indahnya itu membuatku muak. Ada rasa sesal menghatui pikirku ikut pendakian ini. Bayangan-bayangan indah sepanjang bertelusur yang sempat terdengar dari kakak-kakak senior, hanyalah sebuah jebakan bagiku, sebab sepanjang mulai perjalanan aku hanya merasakan lelah dan sakit. Begitu aku berpikir disela tatapan jauh memandang jalan yang bakal jadi titian pulang, seraya mulut mengunyah cemilan kesukaanku.

"Ayo, kita siap-siap lagi".

"Tapi saya tak mungkin bisa bantu mapah Lina, Pak"

"Ga apa-apa. Aku bisa jalan sendiri, Fit"

Kemudian aku dan Fitri berdiri, bahkan Fitri mengayunkan langkah lebih dahulu. Aku berjalan di belakang sahabatku, dengan sedikit menyimpan hati kecewa atas temanku itu. Sepertinya tak peduli dengan keadaan diriku. Sementara pembina mengayunkan kaki di belakang tanpa berkata-kata. Sungguh lebih menyebalkan rasanya.

Tiba-tiba tumpuan kakiku yang kanan terasa tegang, aku tak kuasa menyayunkan kakiku lagi. Aku berdiri terdiam, seraya menutup mukaku. Jujur aku menangis dengan segala yang kurasakan. Sementara Fitri khusuk berjalan tak tahu keadaanku. Terasa ada pegangan tangan di siku tanganku. Namun aku tak merubah posisi tanganku, tetap menutup muka, menutupi sesuatu yang terjadi di mataku, air mata itu terasa membasahi telapak tanganku. Semakin ku coba mengusapnya dengan jari-jari tanganku, terasa semakin meluber keluar.

"Sudah. Ayo, Bapak bantu"

Terdengar nada suara pembinaku. Akupun melepaskan tangan dari mukaku, menunduk merasa malu dari sesuatu yang menimpaku. 

"Ayo...pelan saja jalannya. Yang penting kita jangan sampai kemalaman sampai di perkampungan".

Ujarnya terdengar menyemangatiku. Kakipun terayun pelan dipapah pembinaku. Merasakan sakit yang terasa, sesekali aku memegang erat pergelangan tangan pembinaku, sekedar tak ingin rasa sakit kaki ini berhenti meniti jalan yang kondisinya tak beraturan. Sepanjang jalan cerita dan obrolan pembinaku, cukup bisa menghibur mengurangi rasa sakit. Sesekali juga pembinaku memberi kesempatan aku berhenti untuk istirahat. Begitu juga aku perhatikan, saat istirahat dia menghabiskannya dengan sebatang rokok kretek. Terkadang di sela-sela merokoknya juga, pembinaku bercerita dan bercerita.

Akhirnya sampai juga aku, dimana teman-temanku sudah pada santai. Bahkan nampak pakaiannya sudah pada bersih. Kaki yang sakit, menjadikan jarak berjalan sangat jauh. Akupun terduduk lesu, di teras rumah yang dijadikan basecamp PA Sucipala, saat start mendaki. Ada bahagia telah sampai di lingkungan perumahan, tapi ada kecewa karena jauh tertinggal ketibaan di finish. Akhirnya yang lain sudah pada santai sementara diriku masih butuh istirahat sejenak dengan Bapak pembina.

Kepulan-kepulan asap yang sempat kutangkap diarah sebrang jalan gang, membuat mataku melihatnya. Nampak pembinaku sedang ngobrol dengan beberapa seniorku. Entah apa yang dibicarakan tak sempat terintip telingaku. Yang pasti aku merasakan sosok yang berbeda dari pembinaku, dari cerita yang sempat kudengar dari senior-seniorku. Rasa sebal yang sempat ada, berubah menjadi rasa segan yang tersimpan dalam hati. Sepanjang perjalanan sulitku, ternyata ada hikmah, menjadi bisa mengenal sosok pembinaku yang sebenarnya. Ada tanggung jawab, ada perhatian, ada empati dan banyak lagi yang dirasakannya. Kebapakannya itu telah mampu membuat diriku kuat dalam sakit. cerita-ceritanya sepanjang perjalanan telah menegarkan jiwaku, untuk tidak cengeng menghadapi realita hidup. Untuk lebih percaya diri dalam menapaki masalah. Akupun hanya tersenyum, entah tersenyum untuk siapa, yang jelas aku kuat bangun dari dudukku. Kemudian berjalan mendekati pembinaku.

"Izin bebersih diri, Pak"

Seraya menganggukkan kepala melihat dan tersenyum kepada pembinaku. Sejujurnya semua itu merupakan ucapan terima kasihku kepadanya. Tak sebatas pertolongan memapahnya hingga bisa mencapai tujuan. Tapi ada hal lain yang mungkin akan merubah karakterku di hari esok.

"Biarlah segala karakter kemarin terkubur sepanjang jalan pendakianku ke puncak Ciremai. Selepas ini tak akan terjadi seperti hari kemarin"

Celoteh hatiku, seraya berjalan meninggalkan pembinaku.

Tulisan Terkait